Administrasi
Kelembagaan Islam Di Indonesia
Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Administrasi Islam
Dosen
: Drs. H. Ahmad Syamsir, M.Si/Pitrotussaadah,
S.HI., M.Ag
Disusun Oleh:
Imas Siti Julaeha
|
AN/IV/D
|
1138010126
|
Indah Fajar A
|
AN/IV/D
|
1138010127
|
Mohmad Arief Fadillah
|
AN/IV/D
|
1138010163
|
M. Fajar. Rachman
|
AN/IV/D
|
1138010164
|
ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2015
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran
Tuhan Yang Maha Pemurah, karena berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat kami
selesaikan sesuai yang diharapkan. Makalah ini berjudul" Motif Pembentuk
Konstitusi”. Shalawat serta salam semoga
tercurahkan kepada Nabi kita, Muhammad
SAW, keluarga serta sahabatnya dan akhirnya kepada kita sebagai umat yang
tunduk terhadap ajarannya.
Kami juga menyadari masih bayak terdapat kekurangan dalam
pemnbuatan makalah ini sehingga kritik dan saran yang sifatnya membangun
senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan pembuatan makalah selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Lembaga Islam
Sebelum masuk
ke dalam pembahasan mengenai pengertian lembaga Islam, perlu di ketahui bahwa
ada beberapa istilah yang berhubungan dengan lembaga sosial atau lembaga
kemasyarakatan. Istilah lembaga kemasyarakatan merupakan terjemahan dari
istilah asing social institution.Tetapi para pakar menyatakan bahwa
padanan dari istilah trsebut adalah pranata sosial, karena merujuk
pada adanya unsur-unsur yang mengatur tingkah laku masyarakat. Selain itu juga
ada ahli ilmu sosial yang menggambarkan padanan lain yaitu bangunan sosial,
terjemahan dari bahasa Jerman Soziale Gebilde.
Sedangkan
pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan tata hubungan yang
berpusat pada aktivitas-aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan mereka di
dalam masyarakat.
Dari sedikit
uraian diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa istilah lembaga mengandung dua
pengertian, yaitu pranata yang mengandung arti norma atau sistem, dan bangunan
yang menggambarkan bentuk dan susunan institusi sosial.
Pembahasan yang
lebih khusus lagi tentang lembaga Islam, bahwa pengertian Lembaga Islam adalah
sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam, yang sengaja diadakan untuk
memenuhi kebutuhan umat Islam yang sangat beragam mengikuti perkembangan zaman.
Kebutuhan tersebut diantaranya adalah kebutuhan keluarga, kebutuhan pendidikan,
kebutuhan hukum, kebutuhan ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
B.
Fungsi Lembaga
Islam Di Indonesia
Secara umum, lembaga Islam memiliki beberapa
fungsi pokok, diantaranya adalah :
1.
Memberikan pedoman pada anggota masyarakat
muslim tentang bagaimana mereka harus bersikap dalam menghadapi berbagai
masalah yang timbul dan berkembang di masyarakat, terutama kebutuhan yang menyangkut kebutuhan pokok.
2.
Memberikan pegangan kepada masyarakat
bersangkutan dalam melakukan pengendalian sosial menurut sistem tertentu yaitu
sistem pengawasan tingkah laku para anggotanya.
3.
Menjaga keutuhan masyarakat. Dari beberapa
fungsi yang melekat pada lembaga sosial tersebut di atas, jelas bahwa apabila
seseorang hendak mempelajari dan memahami masyarakat tertentu, maka ia harus
memperhatikan dengan seksama lembaga yang terdapat dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Negara
Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yang kurang
lebih 88,09% mengaku beragama Islam. Oleh karena itu, untuk memahami tingkah
laku masyarakat yang ada di Indonesia, seyogyanya harus dipelajari dan di
perhatikan dengan seksama mengenai lembaga-lembaga Islam yang mempengaruhi
bahkan menentukan pola tingkah laku dan sikap hidup umat Islam. Dan perlu di
garis bawahi bahwa tanpa adanya pembelajaran yang baik mengenai lembaga-lembaga
Islam, orang tidak mungkin dapat memberikan penilaian yang benar tentang umat
Islam.
Perlu kita
ketahui bahwa kesalahan para ahli ilmu sosial dari Barat yang meneliti kemudian
menulis tentang umat Islam terletak pada kenyataan bahwa mereka pada umumnya
tidak memahami lembaga Islam yang bersumber dari ajaran Islam. Selain itu,
metode yang mereka pergunakan tidak selaras dengan ajaran Islam, karena tradisi
dan filsafat yang mereka kembangkan dipengaruhi oleh dua aliran pikiran, yaitu
aliran Liberalis Kapitalis dan aliran Marxis.
Aliran
kapitalis liberalis adalah aliran yang mengutamakan benda dan hanya bersifat
duniawi saja. Akal pikiran serta perasaan manusia yang dikembangkan secara
bebas dan otonom oleh aliran ini diputuskan hubungannya dengan sumber samawi
yaitu sumber yang berasal dari Tuhan. Aliran yang berpaham sekuler ini
melepaskan diri dari agama. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan Islam yang lembaganya
bersumber dari ajaran agama Islam.
Aliran yang
kedua yaitu aliran Marxis adalah aliran yang tumbuh dan kemudian menolak aliran
pertama yang liberalis kapitalis dan sekuler serta menolak segala sesuatu yang
bersangkut paut dengan Tuhan, agama, dan akhirat.
Dari kenyataan
diatas, maka diperlukan metodologi yang selaras dengan ajaran Islam, yang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam dan sejalan dengan sumber ajaran Islam.
Perkembangan selanjutnya, melihat hal-hal tersebut maka banyak metodologi yang
dikembangkan oleh para sarjana muslim sendiri.
Karena fungsinya yang sangat penting dalam
masyarakat, dahulu lembaga Islam di perkenalkan melalui kurikulum perguruan
tinggi. Sebagai contoh yaitu pada Sekolah Tinggi Hukum yang didirikan pada
tahun 1925 di Batavia memasukkan lembaga Islam kedalam kurikulumnya dengan nama
Mohammedansche Recht Instellingen van den Islam, yang artinya adalah
Hukum Islam dan Lembaga-lembaga Islam. Selain itu juga dahulu Sekolah Tinggi
Hukum atau Recht Hogescool yang menjadi cikal bakal Fakultas Hukum serta
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dengan sadar mencantumkan
lembaga-lembaga Islam di dalam kurikulumnya. Dengan maksud agar mereka yang
bekerja di Hindia Belanda yang penduduknya beragama Islam dapat memahami tingkah
laku masyarakat islam.Dari sini
dapat kita lihat dengan jelas betapa pentingnya lembaga-lembaga Islam. Di
Indonesia terdapat beberapa lembaga islam, diantaranya adalah:
1.
Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau
majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia
untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam
mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama
Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26
Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama,
cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika
bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun
merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik
kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya,
selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah
para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:
1.
Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat
Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang
diridhoi Allah SWT.
2.
Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah
keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan
kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama
dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.
3.
Menjadi penghubung antara ulama dan umaro
(pemerintah).
4.
Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar
organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan
dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan
konsultasi dan informasi secara timbal balik.
Sampai saat ini
Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah
nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan
Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan
kini KH. M. Sahal Mahfudz. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah
meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir
masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.
Di sisi lain
umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan
sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya
global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa
nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan
peran agama dalam kehidupan umat manusia. Selain itu kemajuan dan keragaman
umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan
kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan
bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam
sendiri.Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah
hizbiyah) yang berlebihan.Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan
kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat
kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan
kesatuan serta kebersamaan umat Islam. Adapun fungsi dari majelis ulama
indonesia yaitu:
1.
Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul
Anbiya).
2.
Sebagai pemberi fatwa (mufti).
3.
Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat
wa khadim al ummah).
Hubungan MUI dengan pihak luar yaitu sebagai
organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan muslim serta
tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia adalah
gerakan masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan
organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki
keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini
ditampilkan dalam kemandirian kepada pihak-pihak lain di luar dirinya
dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama
organisasi. Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan
umat Islam, Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk
menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi
kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal
yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam.
Majelis Ulama Indonesia, sesuai niat
kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim
dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam. Namun perlu ditegaskna bahwa
kemandirian tidak berarti menghalangi Majelis Ulama Indonesia untuk menjalin
hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun
luar negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi
masing-masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia.
Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa
dirinya hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam dimana dirinya
menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidupberdampingan dan
bekerjasama antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa.Sikap
Majelis Ulama Indonesia ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai
rahmatan lil alamin (Rahmat bagi Seluruh Alam). Fatwa
Majelis Ulama Indonesia
1.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Arah
Kiblat
Majelis Ulama
Indonesia (MUI) meralat fatwa No 03 Tahun 2010 tentang Kiblat. Arah kiblat yang
sebelumnya disebutkan menghadap barat kini telah direvisi menjadi ke arah barat
laut. Letak Indonesia tidak di timur pas Kabah tapi agak ke selatan, jadi arah
kiblat kita juga tidak barat pas tapi agak miring yaitu arah barat laut. Fatwa
yang diralat tersebut adalah fatwa yang dikeluarkan MUI Tanggal 22 Maret 2010
lalu. Adapun diktum fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat disebutkan:
a.
Kiblat bagi orang shalat dan dapat melihat
Kabah adalah menghadap ke bangunan Kabah (ainul ka’bah).
b.
Kiblat bagi orang yang salat dan tidak dapat
melihat Kabah adalah arah Kabah (jihat al-Ka’bah).
c.
Letak georafis Indonesia yang berada di bagian
timur Kabah/Mekkah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah
barat.
2.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang
Pengharaman Merokok
Majelis Ulama
Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa kontroversial. Melalui Ijtima` Ulama Komisi
Fatwa MUI ke III mengenai pengharaman merokok.Ditetapkan bahwa merokok adalah
haram bagi anak-anak, ibu hamil, dan dilakukan di tempat-tempat umum. Sebagai
bentuk keteladanan, diharamkan bagi pengurus MUI untuk merokok dalam kondisi
yang bagaimanapun. Alasan pengharaman ini karena merokok termasuk perbuatan
mencelakakan diri sendiri. Merokok lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya
(itsmuhu akbaru min naf`ihi).
Dengan fatwa
ini, para ulama dan kiai pesantren terlibat dalam pro dan kontra. Beberapa guru
besar agama Islam dan ulama termasuk pengurus MUI daerah menolak pengharaman
itu. Bahkan, Institute For Social and Economic Studies (ISES) Indonesia
menyelenggarakan pertemuan tandingan yang diikuti para ulama kontra fatwa MUI,
para buruh perusahaan rokok, dan petani tembakau, di Padang Panjang. Mereka
meminta pencabutan fatwa MUI tersebut, karena dikhawatirkan akan menghancurkan
ekonomi masyarakat yang menyandarkan hidupnya pada bisnis tembakau ini.
Dalam konteks
itu, Ada beberapa hal yang perlu diketahui dan menjadi bahan pertimbangan:
1.
Keharaman rokok tidak ditunjuk langsung oleh
Alquran dan Hadits, melainkan merupakan hasil produk penalaran para pengurus
MUI, sehingga bisa benar atau keliru. Dengan demikian, keharaman rokok tak sama
dengan keharaman khamr. Jika haramnya meminum khamrbersifat manshushah (ditunjuk
langsung oleh teks Alquran), maka keharaman merokok bersifatmustanbathah (hasil
ijtihad para ulama). Menurut para ulama ushul fikih, kata haram biasanya
digunakan untuk jenis larangan yang tegas disebut Alquran dan Hadits. Sementara
larangan yang tak tegas, tak disebut haram melainkan makruh tahrim.
2.
Menurut ulama MUI, merokok termasuk perbuatan
yang mencelakakan diri sendiri. Rokok mengandung zat yang merusak tubuh. Dengan
menggunakan mekanisme masalikul `illat dalam metode qiyas
ushul fikih, alasan mencelakan diri sendiri tak memenuhi syarat dan kualifikasi
sebagai illat al-hukm. Ia terlalu umum (ghair mundhabith).
Sebab, sekiranya mencelakan diri sendiri ditetapkan sebagai causa hukum, maka
semua barang yang potensial menghancurkan tubuh bisa diharamkan. Gula yang
dikonsumsi dalam waktu lama bisa menimbulkan diabetes. Begitu juga makanan lain
yang mengandung kolesterol tinggi bisa diharamkan karena akan menyebabkan
timbulnya beragam penyakit. Karena itu, diperlukan keahlian sekaligus kehati-hatian
dalam menentukan alasan hukum pengharaman sebuah tindakan. Para ahli ushul
fikih sepakat bahwa causa hukum sebuah perkara, di samping ditetapkan nash
Alquran dan Hadits, juga diputuskan oleh ulama yang telah memenuhi kualifikasi
seorang mujtahid.
3.
Merumuskan hukum (istinbath al-hukm) dan
menerapkan hukum (tathbiq al-hukm) adalah dua subyek yang berbeda. Jika
perumusan hukum membutuhkan perlengkapan teknis-intelektual untuk menganalisa
dalil-dalil normatif dalam Islam, maka menerapkan hukum memerlukan analisis
sosial,ekonomi dan politik.
2.
Departemen
Agama
Departemen Agama adalah sebuah instansi pemerintah yang bertugas
menangani urusan agama di Indonesia dibawah naungan Menteri Agama RI. Namun
berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 1 Tahun 2010, maka sejak saat itu
Departemen Agama ini berubah nama menjadi Kementerian Agama.
Menurut sejarah, Departemen Agama berdiri sejak tanggal 3 Januari
1946. Itu artinya kurang dari satu tahun sejak Indonesia meraih Kemerdekaannya.
Oleh sebab itu, setiap tahun seluruh Keluarga Besar Departemen Agama di seluruh
Indonesia merayakannya dengan memberikan istilah kepada hari peringatan ini
dengan nama Hari Amal Bhakti Departemen Agama
Meskipun dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) Departemen Agama sempat menjadi perdebatan, namun atas inisiatif
BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) di dalam sidangnya,
KH.Saleh Suady tanggal 25-28 Nopember 1945 telah melakukan formalisasi usulan
KH.Abu Dardiri asal Banyumas Jawa Tengah tentang urgensi pendirian Departemen
Agama. Beliau mengusulkan agar dalam pemerintahan Indonesia yang sudah merdeka
ini Urusan Agama tidak saja dilakukan dan ditangani Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan atau Departemen lainnya, melainkan sebaliknya diatur dan diurus oleh
Departemen khusus dan tersendiri. Atas dasar itulah, maka Presiden Soekarno
memberikan isyarat dengan menyambut baik usulan ini, sehingga secara formal
Presiden memberikan Penetapan Pemerintah tanggal 3 Januari 1946 yang isinya
Membentuk Departemen Agama.
Penetapan Pemerintah ini kemudian diikuti dengan sosialisasi
melalui media massa baik dalam maupun luar negeri, dan mengangkat H.M.Rasyidi
(sekarang Prof.Dr.H.M.Rasyidi, MA) sebagai Menteri Agama. Hal ini merupakan
realisasi dari pasal 29 UUD 1945 dan penghargaan tertinggi untuk ummat islam di
Indonesia.
3.
Kantor Urusan Agama
Kantor Urusan Agama (disingkat: KUA) adalah kantor yang melaksanakan sebagian tugas kantor Kementerian Agama Indonesia di kabupaten dan kotamadya dibidang urusan agama
Islam dalam wilayah kecamatan. Dalam melaksanakan tugasnya, maka
Kantor Urusan berfungsi sebagai:
1. Penyelenggara statistik dan dokumentasi.
2. Penyelenggara surat menyurat, kearsipan, pengetikan, dan rumah
tangga Kantor Urusan Agama Kecamatan.
3. Pelaksana pencatatan pernikahan, rujuk, mengurus dan membina masjid,zakat, wakaf, baitul maal, dan
ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.
Pondok Pesantren
Pondok pesantren yaitu
suatu lembaga pendidikan islam yang didalamnya terdapat seorang kiai (pendidik)
yang mengajar dan mendidik para santri (peserta didik) dengan sarana masjid
yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan terebut, serta didukung adanya
pemondokan atau asrama sebagai tempat tinggal para santri.
Kehadiran kerajaan Bani Umayah menjadikan pesatnya ilmu
pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat islam tidak hanya belajar dimasjid
tetapi juga pada lembaga-lembaga yaitu “kuttab” (pondok
pesantren). Kuttab, dengan karakteristik khasnya, merupakan wahana dan
lembaga pendidikan islam yang semula sebagai lembaga baca dan tulis dengan
sistem halaqah (sistem wetonan). Pada tahap berikutnya kuttab mengalami
perkembangan yang sangat pesat karena dengan didukung oleh dana dari iuran
masyarakat serta adanya rencana-rencana yang harus dipatuhi oleh pendidik dan
peserta didik.
Di Indonesia istilah kuttab lebih dikenal dengan istilah “pondok
pesantren”, yaitu suatu lembaga pendidikan islam yang didalamnya terdapat
seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (peserta didik)
dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan terebut,
serta didukung adanya pemondokan atau asrama sebagai tempat tinggal para
santri.
Dalam kamus besar bahas Indonesia, pesantren diartikan
sebagai asrama, tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji.
Sedangkan secara istilahpesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana
para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran
kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama
Islam secara detail, serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian
dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat.
Tujuan pendidikan pesantren menurut Mastuhu adalah menciptakan
kepribadian muslim yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan,
berakhlak mulia bermanfaat bagi masyarakat atau berhikmat kepada
masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau menjadi abdi masyarakat mampu
berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau
menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat dan
mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Idealnya
pengembangan kepribadian yang ingin di tuju ialah kepribadian mukhsin, bukan
sekedar muslim.
Sedangkan menurut M.Arifin bahwa tujuan didirikannnya
pendidikan pesantren pada dasarnya terbagi pada dua yaitu:
a.
Tujuan
khusus yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang ‘alim dalam ilmu
agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam
masyarakat.
b.
Tujuan
umum yakni membimbing anak didik agar menjadi manusia yang berkepribadian islam
yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh islam dalam masyarakat
sekitar dan melalui ilmu dan amalnya.
Ø Karakteristik atau ciri-ciri umum pondok pesantren adalah
a.
Adanya
kiai
b.
Adanya
santri
c.
Adanya
masjid
d.
Adanya
pondok atau asrama
Sedangkan ciri-ciri khusus pondok pesantren adalah isi
kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis
Arab, morfologi arab,hukum islam, tafsir Hadis, tafsir Al-Qur’an dan lain-lain.
Dalam penjelasan lain juga dijelaskan tentang ciri-ciri pesantren dan juga
pendidikan yang ada didalamnya, maka ciri-cirinya adalah
a.
Adanya
hubungan akrab antar santri dengan kiainya.
b.
Adanya
kepatuhan santri kepada kiai.
c.
Hidup
hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren.
d.
Kemandirian
sangat terasa dipesantren.
e.
Jiwa
tolong-menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di
pesantren.
f.
Disiplin
sangat dianjurkan.
g.
Keprihatinan
untuk mencapai tujuan mulia. Hal ini sebagai akibat kebiasaan puasa sunat,
zikir, dan i’tikaf, shalat tahajud dan lain-lain.
h.
Pemberian
ijazah, yaitu pencantuman nama dalam satu daftar rantai pengalihan pengetahuan
yang diberikan kepada santri-santri yang berprestasi.
Ciri-ciri diatas menggambarkan pendidikan pesantren dalam bentuknya
yang masih murni (tradisional). Adapun penampilan pendidikan pesantren sekarang
yang lebih beragam merupakan akibat dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong
terjadinya perubahan terus-menerus, sehingga lembaga tersebut melakukan
berbagai adopsi dan adaptasi sedemikian rupa. Tetapi pada masa sekarang ini, pondok
pesantren kini mulai menampakan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan islam
yang mumpuni, yaitu didalamnya didirikan sekolah, baik formal maupun nonformal.
Dengan adanya tranformasi, baik kultur, sistem dan nilai yang ada
di pondok pesantren, maka kini pondok pesantren yang dikenal dengan salafiyah
(kuno) kini telah berubah menjadi khalafiyah (modern). Transformasi tersebut
sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam arus
transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan
yang drastis, misalnya
a.
Perubahan
sistem pengajaran dari perseorangan atau sorogan menjadi sistem klasikal yang
kemudian kita kenal dengan istilah madrasah (sekolah).
b.
Pemberian
pengetahuan umum disamping masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa
arab.
c.
Bertambahnya
komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan masyarakat, kesenian yang islami.
d.
Lulusan
pondok pesantren diberikan syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren
tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu yang nilainya sama dengan ijazah
negeri.[1]
Ø Tipologi Pondok Pesantren
Seiring dengan laju perkembangan masyarakat maka pendidikan
pesantren baik tempat, bentuk, hingga substansi telah jauh mengalami
perubahan. Pesantren tak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan
seseorang, akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan zaman.
Menurut Yacub ada beberapa pembagian tipologi pondok
pesantren yaitu :
a.
Pesantren
Salafi yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajaran dengan kitab-kitab
klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannyapun sebagaimana
yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf yaitu dengan metode sorogan dan
weton.
b.
Pesantren
Khalafi yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi)
memberikan ilmu umum dan ilmu agama serta juga memberikan pendidikan
keterampilan.
c.
Pesantren
Kilat yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif
singkat dan biasa dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik
beratkan pada keterampilan ibadah dan kepemimpinan. Sedangkan santri terdiri
dari siswa sekolah yang dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan
dipesantren kilat.
d.
Pesantren
terintegrasi yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional
atau kejuruan sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja dengan
program yang terintegrasi. Sedangkan santri mayoritas berasal dari kalangan
anak putus sekolah atau para pencari kerja.
Sedangkan menurut Mas’ud dkk ada beberapa tipologi atau model
pondok pesantren yaitu :
Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai
tempat mendalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) bagi para santrinya. Semua
materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang
bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para
ulama’ abad pertengahan. Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga
sekarang seperti pesantren Lirboyo di Kediri Jawa Timur beberapa pesantren di
daerah Sarang Kabupaten Rembang Jawa tengah dan lain-lain.
Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajaran namun
dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tak mengikuti
kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang
dikeluarkan tak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalam baik
berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG)
maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjang bahkan
ada yang sampai Perguruan Tinggi yang tak hanya meliputi fakultas-fakultas
keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum.
Contohnya adalah Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur.
Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santri
belajar disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan
agama dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa
diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yang
terbanyak jumlahnya.
Ø Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Sistem yang ditampilkan dalam pondok pesantren mempunyai keunikan
dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam lembaga pendidikan pada
umumnya, yaitu:
1.
Memakai
sistem tradisional, yang memiliki kebebasan penuh dibandingkan dengan sekolah
modern, sehingga terjadi hubungan 2 arah antara kiai dan santri.
2.
Kehidupan
dipesantren menampakkan semangat demokrasi, karena mereka praktis bekerjasama
mengatasi problem non kurikuler mereka sendiri.
3.
Para
santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu perolehan gelar dan ijazah,
karena sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri
dengan ketulusan hatinya masuk pesantren tanpa adanyaijazah tersebut. Hal itu
karena tujuan utama mereka hanya ingin mencari keridhoan Allah SWT semata.
4.
Sistem
pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme, persaudaraan,
persamaan, rasa percaya diri, dan keberanian hidup.
5.
Alumni
pondok pesantren tak ingin menduduki jabatan pemeritahan, sehingga mereka
hampir tidak dapat dikuasai oleh pemerintah.
Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren
adalah wetonan, sorogan, dan hafalan. Metode wetonan merupakan metode kuliah
dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kiai yang
menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika
perlu. Metode sorogan sedikit berbeda dari metode weronan dimana santri
menghadap guru satu-persatu dengan membawa kitab yang dipelajari sendiri. Kiai
membacakan dan menerjemahkan kalimat demi kalimat, kemudian menerangkan
maksudnya, atau kiai cukup menunjukan cara membaca yang benar, tergantung
materi yang diajukan dan kemampuan ssantri.
Adapun metode hafalan berlangsung dimana santri menghafal teks atau
kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya. Materi hafalan biasanya dalam
bentuk syair atau nazham. Sebagai pelengkap metode hafalan sangat efektif untuk
memelihara daya ingat (memorizing) santri terhadap materi yang dipelajarinya,
karena dapat dilakukan baik didalan maupun diluar kelas.
Sedangkan jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti
dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya,
kenaikan tingkat seorang santri didasarkan isi mata pelajaran tertentu yang
ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang
santri telah menguasai satu kitab atau beberapa kitab dan telah lulus ujian
(imtihan) yang diuji oleh kiainya, maka ia berpindah kekitab lain yang lebih
tinggi tingkatannya. Jelasnya, penjenjangan pendidikan pesantren tidak
berdasarkan usia, tetapi berdasarkan penguasaan kitab-kitab yang telah
ditetapkan dari paling rendah sampai paling tinggi. Tetapi seiring dengan
perkembangan zaman kini pondok pesantren banyak yang menggunakan sistem
klasikal, dimana ilmu yang dipelajari tidak hanya agama saja, melainkan ilmu
umum juga dipelajari.[2]
5.
Koperasi (Syirkah Ta’awuniyah) dalam Perspektif Islam
Secara etimologi kata koperasi berasal dari bahasa inggris coperation
yang arttinya bekerja sama. Sedangkan dalam bahasa Arab,
koperasi disebut syirkah yang berarti al-ikhtilath, yaitu suatu perserikatan
atau perkongsian.
Adapun diliat dari segi istilah, koperasi (syirkah) adalah suatu badan usaha dibidang
perekonomian yang memiliki keanggotan suka rela atas dasar persamaan hak,
kerjasama, dan tujuan untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya dan masyarakat
pada umumnya.
Berangkat dari pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa syirkah
adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu
atas dasar sukarela, gotong royong, dan demokrasi dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan, bahwa keuntungan dan risiko akan
ditanggung bersama.
Landasan hukum yang dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan syirkah
sebaga berikut.
1.
Al-Qur’an an-nisa|:12
فهم شر كا ء فى
ا لثلث
Artinya: Maka mereka berserikat pada sepertiga
2. Al-Hadits
Yang artinya dari abi hurairah ra. Bahwasannya
Nabi Saw bersabda, sesungguhnya allah berfirman : aku adalah orang yang ketiga
dari dua orang yang berserikat selama salah seorang diantaranya tiada
menghianati yang lain, maka apabila bekhianat salah seorang diantara keduanya,
saya keluar dari perserikatan keduanya.
(HR.Abu Daud no 2936,dalam bab al-buyu)
3. Ijma ulama
Menurut Ibnu Al-Muundzir pelaksanaan syirkah
telah disepakati kebolehnny oleh para ulama. Walaupun terdapat pula ulama yang
tidak memperbolehkan karena berbagai macam alasan yang dikemukakan.[3]
Ø Tujuan dan manfaat koperasi (syirkah)
Sebagai mana dikethu bahwa menciptakan kerja sama
dan tolog menolong sesama manusia adalah anjuran dalam agama. Al-Qur’an telah
menganjarkan akan adanya kerjasama dan tolong menolong. Itu hanyalah dilakukan
dlam kebaikan dan mencerminkan ketakwaan kepada Allah.
“Dan tolong menolong kamu dalam (mengejakan)
kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dlam berbuat dosa dan
pelanggaraan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah...” (QS 5:2). Demikian pula
ajaran islam juga menekankan pentingnya masyarakat untuk mencapai kesatuan
pendapat, sikap ataupun langkah dalam mengusahakan sesuatu. Seperti tampak
dalam kuttipann Al-Qur’an: “dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertakwalah kepada
Allah. (QS. 3:159).
Dengan melihat beberapa petunjuk melalui
nash-nash di atas termasuk falsafah yang tekandung dalam koperasi itu sendiri
maka jelas ia mempunyai tujuan dan manfaat yang cukup besar dalam kehidupan
manusia. Menurut mahmud syaltut (guru besar hukum islam di mesir) syirkah
merupakan perserikatan baru yang belum dikenal oleh para fuqaha’ masa lampau,
tetapi baru diperkenalkan oleh para ahli ekonomi. Meuruttnya tujuan dan manfaat
dari koperasi ini paling tidak mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.
Memberi keuntungan kepada anggota pemilik
saham
2.
Memberi lapang kerja kepada para karyawannya
3.
Memberi bantuan keuangan dari sebagian hasil
usaha koperasi untuk mendirikan tempat ibadah, sekolah, dan sebagainya
Ø Macam-macam syirkah
Pada dasarnya syirkah itu dibagi menjadi dua
macam, yaittu syirkah amlak (pemilikan) dan syirkah uqud/aqad (kontrak).
Syirkah amlak terjadi disebabkan tidak melalui aqad, tetapi karena melalui
warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang berakibat kepemilikan. Dalam syirkah
ini kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam aset nyata dan berbagi pula
dalam hal keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
Sedangkan syirkah aqad tercipta karena adanya
kesepakatan antara dua orang atau lebih untuk berkerja sama dalam memberi modal
dan mereka sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.
Sayyid sabiq membagi syirkah aqad menjadi
empat antara lain:
1. Syirkah al-inan
2. Syirkah mufawwadlah
3. Syirkah wujuh
4. Syirkah abdad
Ø Rukun dan syarat syirkah Ta’awwuniyah
1. Sighat (ucapan), ijab dan qabul (penawaran dan penerimaan)
2. Pihak yang berkontrak
3. Obyek kesepakatan: modal dan kerja
Ø Syarat syirkah
1. Ucapan tidak ada bentuk khusus dari kontrak syirkah. Ia dapat berbentuk
ucapan yang menunjukan tujuan. Dan juga bisa berbentuk tulisan serta dicatat dan disaksikan bila mengadakan
kontrak syirkah.
2. Pihak yang berkonrrak; di isyaratkan bahwa mitra harus kompeten dalam
memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
3. Obyek kontrak (dana dan kerja)[4]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Lembaga Islam
adalah sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam, yang sengaja diadakan
untuk memenuhi kebutuhan umat Islam yang sangat beragam mengikuti perkembangan
zaman. Kebutuhan tersebut diantaranya adalah kebutuhan keluarga, kebutuhan
pendidikan, kebutuhan hukum, kebutuhan ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
2.
Secara umum, lembaga Islam memiliki beberapa
fungsi pokok, diantaranya adalah :
a.
Memberikan pedoman pada anggota masyarakat
muslim tentang bagaimana mereka harus bersikap dalam menghadapi berbagai masalah
yang timbul dan berkembang di masyarakat, terutama kebutuhan yang menyangkut
kebutuhan pokok.
b.
Memberikan pegangan kepada masyarakat
bersangkutan dalam melakukan pengendalian sosial menurut sistem tertentu yaitu
sistem pengawasan tingkah laku para anggotanya.
c.
Menjaga keutuhan masyarakat. Dari beberapa
fungsi yang melekat pada lembaga sosial tersebut di atas, jelas bahwa apabila
seseorang hendak mempelajari dan memahami masyarakat tertentu, maka ia harus
memperhatikan dengan seksama lembaga yang terdapat dalam masyarakat yang
bersangkutan.
3. Macam-macam Lembaga Islam diantaranya, yatu:
a. MUI
b. Departemen Agama
c. KUA
d. Pondok Pesantren
e. Koperasi (syirkah)
Daftar Pustaka
Abdad, Zaidi. 2003. Lembaga
Perekonomian Umat Di Dunia Islam. Bandung: Angkasa
Haedari, Amin. 2004. Masa
Depan Pesantren. Jakarta: Ird Press
Indra, Hasbi. 2003. Pesantren
Dan Transformasi Sosial. Jakarta: Penamadani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar